 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/b3fb798a-a7f9-47a2-a507-715de2302700.jpg)

\
During this year’s *Musim Timur* (East Season), a family of nutmeg farmers from Perwasak Village, in Fakfak District, West Papua, faced a particularly difficult harvest season. Nevertheless, they adapted by consistently enhancing the quality of their harvest and post-harvest, devising strategies for producing nutmeg-derived sweets and essential oils, and even establishing a cooperative to support the local nutmeg economy.

\
*Musim Timur* (April–June) is understood as a time when the wind begins to change its course from the cold wind blowing in from the mainland of Southeast Asia to hot and dry air flowing in from the southeast of the island of Papua, located in the Pacific. With 2023 being marked as the year of El Niño, farmers such as those from the Patiran family, have become one of the most affected by the uncertain climate.

\
Arobi Patiran is a 36-year-old nutmeg farmer from Henggi Matiri Farmer Group. He is the only farmer from his group who managed to collect nearly 20 kg of nutmeg in this *Musim Timur*. Henggi Matiri was formed in April 2021, and it consists of all of Arobi’s family. He is a cousin of Latifa Patiran, who serves as Henggi Matiri’s treasurer.

\
The two live in the Perwasak Village, and they grew up in a big family that has been very much involved in the cultivation of Papuan nutmeg (*Myristica argentea* Warb.), also known as Tomandin nutmeg. In West Papua, nutmegs are mostly cultivated in the forest. Families of the same clan (*marga*) are given a plot of the community’s forest, which has been dictated according to the region’s customary law (*hak ulayat adat*).

\
The forest, and the rich variety of trees within, become a form of inherited wealth that is passed down from generation to generation. Latifa recalled watching Arobi often following his father to the family’s *Dusun Pala*. A *Dusun Pala* refers to the specific forest plot that has been allotted to a family. Arobi began taking full-time care of his family’s *Dusun Pala*when his father passed away. Arobi was just 21 at that time. \n 

Arobi’s plot, which he inherited from his father, is about 1.7 Ha big with 189 nutmeg trees in it. Nutmeg trees grow wild in the forest along with rambutan (*Nephelium lappaceum*), langsat (*Lansium parasiticum*), and durian (*Durio zibethinus*). Local people believe that birds, such as Papuan hornbills, regularly disperse the seed as it feeds on the fruit’s sweet flesh. The life cycle of the nutmeg tree resembles that of a child being nurtured as a youngling until it can finally contribute to the family’s economy.

\
Farmers do not need to intervene throughout the production of nutmeg fruits, so they only come and harvest them when they fruit. “I’d usually take my nephews to come and help out.” Said Arobi. “*Dusun Pala* is too big to be handled by only a single person.”

\
Arobi continued,

> “Sometimes when we go out for a whole day, we’d only be able to completely clear 3–4 trees. And if the weather permits, we’ll continue harvesting the next day.”

\
The Patirans formed Henggi Matiri, a farmer group in Perwasak Village, to increase the chances of having better prices for nutmeg, as the group members can collectively produce sufficient amounts of nutmeg to directly deal with buyers. Collectively, they are also changing their harvest practice, particularly as they understand the market expectation.

\
Before joining a series of training in GAP-compliant harvesting practices, farmers in Perwasak often experienced two problems: They would harvest fruits that were too young to be sold at the market, and their harvest often came in contact with mold.

\
Nutmegs should ideally be harvested once the pericarps of the fruits have split. They can be picked using a tall bamboo pole, which has to be regularly washed and cleaned. Other tools, such as machetes and knives, have to be cleaned as well. This is to prevent the fruits from falling to the ground and being contaminated by aflatoxin—a soil-borne fungus harmful to the human body.

\
Before training, farmers would dry out nutmeg seeds by leaving them on a tarp on the ground rather than elevating them off the ground. They would place nutmegs near burning wood to accelerate drying by heat. But traditional *asaran* (the practice of drying out nutmeg seeds) proved to be challenging during heavy rainfall, as the absence of walls exposed nutmegs to the wind and water that made them prone to become moldy.

\
Arobi joined training on nutmeg harvests and post-harvest practices. “I could tell the difference in the scale. After learning not to pick up the fallen fruits on the ground, my harvests felt heavier on the scale. I think it was because the quality of the nutmeg increased.”

\
And in May 2021, Henggi Matiri Farmer Group initiated a new *asaran*, built with multiple shelves and closed walls, to keep nutmegs dry and protected from damp conditions.

\
Apart from forming a farmer group, the Patiran family is also active in the creation of a new cooperative based in Perwasak Village. The *Mery Tora Qpohi* (MTQ) was established in September 2022 by three farmer groups from Fakfak District: Henggi Matiri, Henggi Rida, and Guraferi.

\
Arobi was involved in the formation of MTQ Cooperative. “We used to sell our harvests to a middleman. But now that we have a cooperative, we can sell our harvests directly to buyers rather than having to go to middlemen.”

\
Latifa added, “We’ve always known of nutmeg’s many potentials. But before the cooperative was formed, we didn’t know how to process it into products like essential oils.”

\
Through his active participation in the farmer groups, Arobi aspires to increase his resiliency as a nutmeg farmer and improve the consistency and productivity of his nutmeg harvest. “I look forward to joining more training to increase my family’s *Dusun Pala*’s productivity.”

\
*Writer: [Nibras Balqis Sakkir](https://kaleka.id/person/nibras-balqis-sakkir)*

 ![](https://petani.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/ourstoryentity/d3b147ef-13c6-463d-98a4-608b12157911.jpg)

Di *Musim Timur* tahun ini, keluarga petani pala dari Desa Perwasak di Kabupaten Fakfak, Papua Barat mengalami musim panen yang sulit.

\
*Musim Timur* yang terjadi di bulan April - Juni diartikan sebagai waktu ketika angin berubah dari angin dingin yang bertiup dari daratan Asia Tenggara, menjadi udara panas dan kering yang bertiup dari Pasifik yang terletak di tenggara pulau Papua

\
2023 ditandai sebagai tahun El Nino, petani seperti keluarga Patiran menjadi salah satu yang terdampak dengan ketidakpastian iklim.

\
Walaupun begitu, mereka beradaptasi dengan secara konsisten meningkatkan kualitas panen dan pascapanen, merancang strategi untuk memproduksi makanan manis dan minyak atsiri yang berasal dari pala, dan bahkan mendirikan koperasi untuk mendukung ekonomi pala lokal. \n 

Arobi Patiran adalah petani pala berumur 36 tahun dari kelompok tani Henggi Matiri. Dia adalah satu-satunya petani dari kelompoknya yang dapat memanen hampir 20 kg pala di musim timur ini.

\
Henggi Matiri dibentuk pada April 2021 yang terdiri dari seluruh keluarga Arobi. Ia adalah sepupu dari Latifa Patiran yang bekerja sebagai bendahara Henggi Matiri.

\
Mereka berdua hidup di Desa Perwasak dan besar di keluarga besar yang terlibat erat dalam budidaya Pala Papua (*Myristica argentea* Warb.) yang juga dikenal sebagai pala Tomandin. Di Papua Barat, pala biasanya dibudidayakan di hutan. Keluarga dari marga yang sama diberikan sebidang tanah dari hutan komunitas yang telah ditentukan dari hukum adat daerah (*hak ulayat adat*).

 \n Hutan dan keanekaragaman di dalamnya menjadi suatu bentuk kekayaan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Latifa mengingat kala Arobi mengikuti ayahnya ke Dusun Pala milik keluarganya. Dusun Pala adalah sepetak hutan tertentu yang telah disediakan untuk sebuah keluarga.

\
Arobi mulai menjaga Dusun Pala keluarganya secara penuh ketika ayahnya tiada. Arobi berumur 21 tahun saat itu.

 \n Sebidang tanah yang Arobi dapatkan dari warisan ayahnya mempunyai luas 1.7 ha dengan 189 pohon pala di dalamnya. Pohon pala tumbuh secara liar di hutan bersama dengan rambutan, langsat dan durian. Warga lokal percaya bahwa burung-burung seperti Julang Papua akan secara teratur menyebarkan biji karena memakan daging buah yang manis. Siklus hidup pohon pala seperti seorang anak yang diasuh sejak kecil hingga akhirnya bisa berkontribusi pada perekonomian keluarga.

\
Petani tidak campur tangan selama produksi buah pala, sehingga mereka hanya datang dan memanennya saat sudah berbuah. “Saya biasanya membawa keponakan saya untuk datang dan membantu.” Kata Arobi, “Dusun Pala terlalu besar untuk ditangani oleh satu orang saja.”

\
Arobi melanjutkan,

> “Terkadang saat kami keluar sepanjang hari, kami hanya dapat sepenuhnya memanen 3 - 4 pohon. Dan jika cuaca memungkinkan, kami akan melanjutkan panen keesokan harinya.”

\
Keluarga Patiran membentuk Henggi Matiri, kelompok tani di Desa Perwasak, untuk meningkatkan peluang mendapatkan harga pala yang lebih baik karena secara kolektif anggota kelompok dapat memproduksi pala dalam jumlah yang cukup untuk bertransaksi langsung dengan pembeli. Secara kolektif mereka juga mengubah praktik panen mereka terutama karena telah memahami ekspektasi pasar.

\
Sebelum mengikuti serangkaian pelatihan praktik pemanenan yang sesuai dengan kaidah pertanian yang baik atau *Good Agricultural Practices* (GAP), petani di Perwasak sering mengalami dua masalah: Mereka memanen buah yang terlalu muda untuk dijual di pasar dan hasil panen mereka sering ditumbuhi jamur.

\
Pala idealnya dipanen setelah kulit buahnya pecah. Mereka dapat dipetik menggunakan tiang bambu tinggi yang harus dicuci dan dibersihkan secara teratur. Alat-alat lain seperti parang dan pisau juga harus dibersihkan. Hal ini untuk mencegah buah jatuh ke tanah dan terkontaminasi aflatoksin, bahan kimia yang ditemukan di beberapa jamur yang berbahaya bagi tubuh manusia.

\
Sebelum pelatihan, petani akan mengeringkan biji pala dengan meletakkannya di atas terpal di tanah, bukan mengangkatnya dari tanah. Mereka akan menempatkan pala di dekat kayu yang terbakar untuk menghasilkan panas dan mempercepat proses pengeringan. Namun asaran tradisional (praktik mengeringkan biji pala) terbukti menjadi tantangan selama hujan lebat karena tidak adanya dinding yang membuat pala terpapar air dan angin, membuatnya rentan berjamur.

\
Arobi mengikuti beberapa pelatihan untuk praktik panen dan pasca-panen pala. “Saya merasa ada perbedaan pada berat hasil panen saya. Setelah belajar untuk tidak memungut buah yang jatuh di tanah, panen saya terasa lebih berat saat ditimbang. Saya pikir itu karena kualitas pala meningkat.”

\
Pada Mei 2021, Kelompok Tani Henggi Matiri menginisiasi asaran baru yang dibangun dengan beberapa rak dan dinding tertutup untuk menjaga pala tetap kering dan terlindung dari kondisi lembab.

\
Selain membentuk kelompok tani, keluarga Patiran juga aktif dalam pembentukan koperasi baru yang bermarkas di Desa Perwasak. Mery Tora Qpohi (MTQ) didirikan pada September 2022 oleh tiga kelompok tani dari Kabupaten Fakfak: Henggi Matiri, Henggi Rida, dan Guraferi.

\
Arobi terlibat dalam pembentukan Koperasi MTQ, “Biasanya kami menjual hasil panen ke tengkulak. Tapi sekarang kami memiliki koperasi, kami bisa menjual hasil panen kami langsung ke pembeli daripada harus melalui tengkulak.”

 \n “Selama ini kami tahu banyak potensi yang dimiliki pala. Tapi sejak koperasi terbentuk, kami menjadi lebih tahu bagaimana mengolahnya menjadi produk seperti minyak atsiri,” Latifa menambahkan.

\
Melalui partisipasi aktifnya dalam kelompok tani, Arobi bercita-cita untuk terus meningkatkan kemampuannya sebagai petani pala dan meningkatkan konsistensi serta produktivitas panen palanya. “Saya berharap dapat mengikuti lebih banyak pelatihan untuk meningkatkan produktivitas Dusun Pala keluarga saya.”

\
*Penulis: [Nibras Balqis Sakkir](https://kaleka.id/person/nibras-balqis-sakkir)*