Papuan nutmeg (*Myristica argentea* Warb) grows naturally in the wild in Fakfak, a district in the West Papua province. With a total cultivated area of 17,547 hectares, nutmeg plays a key role in the local economy as an important source of income.

\
As a non-timber forest product, it is one of the few agricultural commodities that are crucial for forest protection, as no land clearing is needed for cultivation. Increasing the value of nutmeg forest gardens will help indigenous Papuans to maintain these last frontiers of tropical forests.

\
The Mbaham Matta are the indigenous people of the Fakfak district of West Papua. Nutmeg is not just a commodity for these communities but also a central part of their society, culture, and natural environment. Nutmeg cultivation practices are based on historical practices handed down over generations and tied to the culture and beliefs of the indigenous communities.

\
Cultivating nutmeg in Fakfak is a family effort, with the women and men all playing specific roles during the cultivation and harvest cycles. Nutmeg is highly valued by the communities, which is demonstrated by how nutmeg forest gardens are handed down through families over generations and the taboos that prevent the felling of nutmeg trees.

\
Nutmeg production in Fakfak faces two major problems, namely, low productivity and low-quality production. Nutmeg grows naturally in high density among other forest trees and with a random distribution of male-female ratio, which causes low productivity and the emergence of disease infection. Moreover, the current harvest and post-harvest practices, including premature harvest, incomplete drying process, and high-humidity storage, could result in product contamination, including aflatoxins. Between 2000-2016, 62% of the exported Indonesian nutmeg to the European Union market was contaminated by aflatoxin. The contaminated product was rejected.

\
\
**Intervention:**

We aimed to increase the productivity and value of Papuan nutmeg by introducing good harvest and post-harvest techniques to maintain the quality of their nutmeg. Preventing the harvested fruit from touching the ground reduces the risk of aflatoxin contamination—a soil-borne disease. Farmers were also encouraged to dry the harvested nutmeg instead of selling the raw products. Moreover, modern drying techniques and technologies were used to ensure that the product meets international standards.

\
\
**Location:**

Fakfak, West Papua

\
\
**Details:**

| **District** | **Farmer Group** | **Member** |
|----|----|----|
| Kokas | Guraferi | 60 |
| Kokas | Henggi Rida | 32 |
| West Fakfak | Henggi Matiri | 17 |

\
\
**Method and Progress:**


1. **Establishing Farmer Group.**

   At the start of the intervention, local communities discussed and agreed upon the work plan that would be implemented considering the challenges faced by the farmers. A farmer group was established to serve as an internal control system that ensured that all farmer members complied with good harvest and post-harvest practices.

\
\

2. **Mapping Nutmeg Gardens.**

   The farmers do not usually know the total area of their nutmeg garden. When farmers require cash, they put their garden as a collateral to a lender. Often, they cannot pay back the loan, and the garden is taken by the lender. Therefore, we supported the farmers to map their nutmeg garden so that they know the value of their land.

   \
   As part of the mapping process, we also took inventory of the number of trees and tree descriptions for age, diameter, sex, and crown width. This aimed to determine the nutmeg population in agroforestry systems and make it easier to calculate potential productivity.

\
\

3. **Providing training on good harvest and post-harvest practices.**

   Training for good harvest and post-harvest practices was provided to the farmers, so they can meet market standards. The market value of nutmeg and mace is fixed based on the color, nutritional composition, and grade. The training included harvest time, selecting ripe fruit, and using hygienic equipment and transportation for the fruits. Post-harvest practices included the separation of nuts and mace and the washing, drying, and grading of the product.

   \
   We introduced a modern nutmeg drying facility for farmers in the Patimburak village as a solution to prevent the aflatoxin contamination in nutmeg and mace. The facilities are run by farmer groups to dry the nutmeg harvested by the members of the groups collectively. The facility consists of stacking racks for drying both nutmeg and mace. Dryers and dehumidifiers are installed and run on solar power to provide heating and humidity control. In the case of nutmeg drying, a temperature of 36–40°C is set for about 6–8 hours for 14 days. Mace takes 3-4 days to dry in the same condition. Both nutmeg and mace need to be dried to a maximum moisture level of 10%.

\
\

4. **Monitoring and evaluation**

   Farmer groups have regular monthly meetings during which the monitoring is carried out. The farmers also maintain a diary in which they record information related to nutmeg field maintenance, harvest plans, yield, labor, and post-harvest handling practices.

\
\
**Impact:**


1. 995 plots of nutmeg garden owned by indigenous people were mapped.
2. 130 farmers changed their harvest and post-harvest practices.

\
\
**Lessons Learned:**


1. The knowledge of indigenous nutmeg farmers about good harvest and post-harvest practices can be improved with time. Training the farmers requires a long-term, multi-year approach.
2. Most locations of nutmeg plantations are difficult to access, so it is challenging for farmers to harvest at the right time, considering the number of laborers available.
3. A nutmeg drying facility can reduce the contamination caused by the traditional drying method, particularly during the rainy season.

\


Pala Papua (*Myristica argentea Warb*) tumbuh secara alami di alam bebas di Fakfak, sebuah kabupaten di Provinsi Papua Barat. Dengan total luas lahan budidaya 17.547 hektar, pala memainkan peran penting dalam perekonomian lokal sebagai sumber pendapatan penting.

\
Sebagai hasil hutan bukan kayu, pala adalah salah satu dari sedikit komoditas pertanian yang sangat penting untuk melindungi hutan, sebab tidak diperlukan pembukaan lahan untuk budidaya. Meningkatkan nilai kebun hutan pala akan membantu penduduk asli Papua dalam mempertahankan perbatasan terakhir hutan tropis ini.

\
Mbaham Matta merupakan suku penduduk asli Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pala bukan hanya sebatas komoditas, namun juga merupakan bagian utama dari masyarakat, budaya, dan lingkungan alam mereka. Praktek budidaya pala didasarkan pada praktek sejarah yang diwariskan secara turun-temurun dan terikat dengan budaya dan kepercayaan masyarakat adat.

\
Budidaya pala di Fakfak adalah usaha milik keluarga, baik perempuan maupun laki-laki  memiliki peran khusus selama siklus penanaman dan panen. Pala sangat dihargai oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan bagaimana kebun hutan pala diwariskan secara turun-temurun serta adanya pantangan yang melarang penebangan pohon pala.

\
Terdapat dua masalah besar yang dihadapi dalam produksi pala di Fakfak, yaitu rendahnya produktivitas dan rendahnya kualitas produksi. Pala tumbuh secara alami dengan jarak tumbuh yang sangat rapat di antara pohon-pohon hutan lainnya serta dengan distribusi rasio jantan-betina yang acak, hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas dan munculnya infeksi penyakit. Selain itu, praktik panen dan pascapanen saat ini, seperti panen prematur, proses pengeringan yang tidak sempurna, dan penyimpanan dengan kelembaban tinggi, dapat mengakibatkan kontaminasi produk, termasuk aflatoksin. Antara tahun 2000-2016, sebanyak 62% pala Indonesia yang diekspor ke pasar Uni Eropa terkontaminasi aflatoksin, sehingga produk yang terkontaminasi semuanya ditolak.

 \n 

**Intervensi:**

Tujuan kami adalah untuk meningkatkan produktivitas dan nilai pala di Papua dengan memperkenalkan teknik panen dan pasca panen yang baik untuk menjaga kualitas pala mereka. Mencegah buah yang dipanen menyentuh tanah dapat mengurangi risiko kontaminasi aflatoksin atau penyakit yang tersebar melalui tanah. Petani juga disarankan untuk mengeringkan pala yang dipanen daripada menjual produk mentahnya secara langsung. Selain itu, teknik dan teknologi pengeringan  modern digunakan untuk memastikan  produk tersebut dapat memenuhi standar internasional.

\
\
**Lokasi:**

Fakfak, Papua Barat

\
\
**Detail:**

| **Kawasan** | **Kelompok Petani** | **Anggota** |
|----|----|----|
| Kokas | Garferi | 60 |
| Kokas | Henggi Rida | 32 |
| Fakfak Barat | Henggi Matiri | 17 |

\
\
**Metode dan Perkembangan:**


1. **Membentuk Kelompok Tani.**

   Pada awal intervensi, masyarakat lokal berdiskusi dan menyepakati rencana kerja yang akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh para petani. Kelompok tani dibentuk sebagai sistem kontrol internal yang memastikan bahwa semua anggota petani mengikuti praktik panen dan pasca panen yang baik.

\
\

2. **Pemetaan Kebun Pala.**

   Para petani biasanya tidak mengetahui luas kebun pala mereka. Ketika para petani membutuhkan uang tunai, mereka biasanya menjadikan kebun mereka sebagai jaminan kepada pemberi pinjaman. Seringkali, mereka tidak dapat membayar kembali pinjaman uang tersebut sehingga kebun mereka diambil oleh pemberi pinjaman. Oleh karena itu, kami membantu para petani untuk memetakan kebun palanya agar mereka mengetahui nilai dari tanah mereka.

   \
   Sebagai bagian dari proses pemetaan, kami juga melakukan inventarisasi jumlah pohon dan deskripsi pohon untuk umur, diameter, jenis kelamin, dan lebar tajuk. Hal ini bertujuan untuk mengetahui populasi pala dalam sistem agroforestri dan memudahkan perhitungan potensi produktivitas.

\
\

3. **Memberikan Pelatihan  Praktik Panen dan Pascapanen yang Baik.**

   Pelatihan praktik panen dan pascapanen yang baik diberikan kepada para petani sehingga mereka dapat memenuhi standar permintaan pasar. Nilai pasar pala dan bunga pala ditetapkan berdasarkan warna, komposisi gizi, dan kadarnya. Pelatihan ini meliputi waktu panen, pemilihan buah matang, dan penggunaan peralatan higienis serta transportasi buah. Praktik pascapanen meliputi pemisahan biji dan bunga pala serta pencucian, pengeringan, dan pemilahan produk.

   \
   Kami memperkenalkan fasilitas pengeringan pala modern untuk petani di Desa Patimburak sebagai solusi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin pada pala dan bunga pala. Sarana tersebut dijalankan oleh kelompok tani untuk menjemur pala yang dipanen oleh anggota kelompok secara kolektif. Fasilitas tersebut berupa rak susun untuk menjemur pala dan bunga pala. Alat pengering dan penurun kelembaban dipasang, dan dijalankan dengan tenaga surya untuk memberikan kontrol pemanasan dan kelembaban. Dalam kasus pengeringan pala, suhu 36–40°C diatur selama sekitar 6–8 jam selama 14 hari. Bunga pala membutuhkan waktu 3-4 hari untuk mengering dalam kondisi yang sama. Baik pala maupun bunga pala harus dikeringkan hingga kadar air maksimum mencapai 10%.

\
\

4. **Pemantauan dan Evaluasi.**

   Kelompok tani mengadakan pertemuan bulanan secara rutin selama pemantauan dilakukan. Para petani juga membuat buku harian di mana mereka mencatat informasi yang berkaitan dengan pemeliharaan lahan pala, rencana panen, hasil, tenaga kerja, dan praktik penanganan pasca panen.

\
\
**Dampak:**


1. Sejumlah 995 petak kebun pala milik masyarakat adat telah terpetakan.
2. 130 petani telah mengubah praktik panen dan pascapanen mereka.

\
\
**Pelajaran yang Dipetik:**


1. Pengetahuan petani pala asli tentang praktik panen dan pascapanen yang baik dapat ditingkatkan seiring dengan berjalannya waktu. Pelatihan petani membutuhkan pendekatan jangka panjang dan multi-tahunan.
2. Sebagian besar lokasi perkebunan pala sulit diakses sehingga tidak mudah bagi petani untuk memanen tepat waktu dengan mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang tersedia.
3. Fasilitas penjemuran biji pala dapat mengurangi kontaminasi yang disebabkan oleh cara penjemuran tradisional, terutama pada musim hujan.

\
